VI. Hadits-hadits yang Memerintahkan untuk Taat kepada Ulil AmriHadits-hadits yang memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri sangat banyak dan bisa dijumpai dalam kitab-kitab hadits yang ditulis para ulama. Di sini akan disebutkan beberapa hadits shahih tentang masalah ini:
1. Dari Abdullah bin Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada sulthan), baik dalam perkara yang dia senangi maupun dia benci, kecuali kalau dia diperintah dalam perkara maksiat, maka dia tidak boleh mendengar maupun taat.” (HR. Bukhari 4/329 Muslim 3/1469)
2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Wajib atasmu untuk mendengar dan taat (kepada sulthan) dalam kesulitanmu dan kemudahanmu, dalam perkara yang menyenangkanmu dan yang kamu benci, dan tidak kamu sukai.” (HR. Muslim 3/1467)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Makna (ÃõËúÑóÉò) adalah: sekalipun para sulthan ini memonopoli perkaramu, sehingga mereka tidak berlaku adil terhadapmu dan mereka tidak menunaikan hakmu,” seperti yang tersebut dalam Bukhari dan Muslim dari Usaid bin Hudhair bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan menemui perkara yang tidak disenangi setelahku, maka hendaklah kalian bersabar sampai kalian berjumpa denganku di telaga haudh nanti.” (HR. Bukhari 3/41 dan Muslim 3/1474)
Dan juga dalam riwayat lain dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“‘Sesungguhnya akan ada sepeninggalku perkara yang tidak kamu senangi dan kalian ingkari.’ Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang dari kalangan kami yang menjumpainya?’ Beliau menjawab: “Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah akan hak kalian.” (HR. Bukhari 4/312 dan Muslim 3/1472)
3. Dari Wail bin Hujr radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Salamah bin Yazid Al-Ju’ti pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, kalau kita diperintah oleh sulthan yang meminta haknya, tapi tidak mau menunaikan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya. Kemudian Salamah bertanya lagi dan Rasulullah pun berpaling lagi. Kemudian Salamah bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, maka ia ditarik oleh Al-Asy’ats bin Qais. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dengar dan taatlah kalian, karena mereka akan memikul dosa-dosa mereka dan kalian juga akan memikul dosa-dosa kalian (sendiri).” (Muslim 3/1474)
Berkata Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi: “Adapun hikmah komitmen dalam mentaati mereka (Umara) sekalipun mereka dhalim adalah karena memberontak dan tidak taat kepada mereka akan mengakibatkan kerusakan yang fatal, lebih dari kedhaliman mereka sendiri, bahkan bersabar dalam menghadapi kedhaliman mereka itu bisa menghapuskan dosa-dosa dan bisa melipat gandakan pahala. Ini karena Allah tidak menguasakan mereka atas kita melainkan karena rusaknya amalan kita. Maka wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam beristighfar, taubat, dan memperbaiki amal. Allah berfirman :
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
Maka apabila rakyat ingin lepas dari belenggu kedhaliman Umara, maka hendaklah mereka itu (rakyat) meninggalkan kedhaliman pula.” (Syarh Aqidah Thahawiyyah 370)
4. Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Kekasihku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah berwasiat kepadaku:
“Dengar dan taatilah (Umara), sekalipun budak Habasyi yang juling matanya.” Dan dalam riwayat Bukhari: “sekalipun diperintah oleh budak Habasyi yang panjang dan lebat rambut kepalanya.” (HR. Muslim 3/1467 dan Bukhari 1/30)
5. Dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:“Sebaik-baik pimpinan kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian. Kalian doakan kesejahteraan bagi mereka dan mereka doakan kesejahteraan buat kalian. Dan sejelek-jelek pimpinan kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati kalian.” Kami, para shahabat, bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka boleh kita perangi ketika terjadi demikian?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, selama mereka masih shalat bersama kalian. Ketahuilah barangsiapa urusannya diurusi oleh Ulil Amri (sulthan) kemudian dia melihatnya berbuat maksiat kepada Allah, maka hendaklah dia benci terhadap maksiat yang dia perbuat dan sungguh jangan cabut tangan ketaatan padanya.” (HR. Muslim 3/1482)
6. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Barangsiapa yang melihat Amirnya berbuat sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar karena tidak ada seorangpun di kalangan manusia yang keluar dari sulthan sejengkal, kemudian dia mati atas perbuatannya ini melainkan dia mati secara jahiliyah.” (Bukhari 4/313 dan Muslim 3/1478)
7. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (baik).” (HR. Bukhari 4/355 dan Muslim 3/1469)
VII. Fatwa Para Syaikh dan Ulama tentang Masalah ini1. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin BazzBeliau pernah ditanya: “Apakah termasuk manhaj salaf mengkritik sulthan di atas mimbar? Bagaimana manhaj salaf dalam mengkritik mereka?”
Maka beliau menjawab:
“Bukan termasuk manhaj salaf memasyhurkan dan menyebut-nyebut kejelekan sulthan di atas mimbar, karena akan mengakibatkan kekacauan yang fatal dan akan menjurus kepada perbincangan yang tak ada manfaatnya, bahkan bermadharat. Tetapi jalan yang diikuti oleh para Salafus Shalih ialah menyampaikan nasehat empat mata antara mereka (salaf) dengan sulthan, atau dengan mengirim surat kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang biasa berhubungan dengan sulthan, atau dengan mengirim surat kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang bisa menasehatinya dengan baik. (Dan perlu diketahui) bahwa mengingkari kemungkaran bisa dilakukan tanpa menyebutkan pelakunya. Demikian juga mengingkari zina, khamr, riba dan yang lainnya bisa dilakukan tanpat menyebut pelakunya.
Ketika terjadi fitnah di jaman kekhilafahan Utsman, berkata sebagian orang kepada Usamah bin Zaid radhiallahu anhu: “Apakah kamu tidak mengingkari perbuatan Utsman?” Maka Zaid menjawab: “Aku tidak mau mengingkarinya di depan masyarakat, tetapi aku ingkari perbuatannya dengan (melakukan pembicaraan red.) empat mata antara aku dengannya, karena aku tidak mau membukakan pintu kerusakan atas manusia.” Maka ketika mereka membuka pintu kerusakan pada jaman Utsman radhiallahu ‘anhu dan mengingkari perbuatan Utsman secara terang-terangan, memuncaklah fitnah dan terjadilah pembunuhan, peperangan dan kerusakan fatal yang tidak pernah punah bekasnya sampai sekarang. Akhirnya terjadilah fitnah antara Ali dan Muawiyyah, dan terbunuhlah Utsman, Ali dan banyak dari kalangan para shahabat disebabkan pengingkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Kita mohon keselamatan kepada Allah.” (Huququl Ra’i wa Ra’iyyah 27-28)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang ingin menasehati sulthan, maka janganlah dia jelaskan terang-terangan (di depan mata), tapi hendaklah dia ambil tangan sulthan dan menyendiri dengannya. Kalau sulthan itu menerima nasehatnya, maka dia telah menasehatinya dan kalau sulthan itu tidak mau menerima, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/403)
2. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-FauzanBeliau pernah ditanya: “Bagaimana manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam.”
Maka beliau menjawab:
“Manhaj kita dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan) sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan ia berkata: HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2546)
Hadits ini sesuai betul dengan ayat tersebut di atas. Begitu juga hadits-hadits shahih lain yang menganjurkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintahan Islam. Pemerintah Islam harus ditaati dalam perkara taat kepada Allah. Tetapi kalau memerintah kepada maksiat, maka tidak boleh ditaati. Sedangkan dalam masalah selain ini (selain maksiat kepada Allah) mereka harus ditaati.” (Wujub Tha’ati Sulthan 25-26)
Wallahu A’lam bi Shawab.
Maraji’:
1. Tafsir At-Thabari oleh Ibnu Jarir At-Thabari
2. Tafsir Ibnu Katsir oleh Abu Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi
3. Al-Jami’ lil Ahkamil Qur`an oleh Imam Al-Qurthubi
4. Durrul Mantsur oleh Imam Suyuthi
5. Ahkamul Qur`an oleh Abu Bakar Ibnul Arabi
6. Taisirul Karimir Rahman oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di
7. Hujiyyatu Ahaditsil Ahad oleh Syaikh Ahmad Muhammad Amis
8. Qaidah Mukhtasharah oleh Ibnu Taimiyyah
9. Wujub Tha’ati Sulthan oleh Muhammad bin Nashir Al-Uraini
10. Huququ Ra’iyyah karya Syaikh Al-Utsaimin
—————————————————–
[1] Salah satu tokoh Mu’tazilah yang mendakwahkan bahwa Al-Qur`an itu makhluk, dan dia adalah orang yang mempengaruhi Khalifah Al-Watsiq sehingga Imam Ahmad dipenjara.
(Dikutip dari artikel berjudul Makna Taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri, karya al Ustadz Muhammad Afifuddin, sumber Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa’dah/1416/1996 rubrik Tafsir, url sumber
http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=41)